Dalam hidup kita akan selalu dihadapkan dengan pilihan-pilihan. Ketika mimpi kita dengan probabilitas lebih besar ke satu pilihan dan ternyata gagal karena faktor X, untuk menumbuhkan semangat ke pilihan yang lain akan membutuhkan effort yang jauh lebih besar dari sebelumnya..
Beberapa waktu lalu saya sangat berkeinginan untuk menyekolahkan anak saya di sekolah alam yang dekat dengan kontrakan. Ya pilihan mengontrak memang kala itu salah satunya karena keinginan tersebut. Uang SPP yang dipatok 1jt/bulan untuk reguler membuat saya bertekad anak saya masuk reguler. Terapi selama 3,5 tahun dan kemampuan membaca yg sudah bertahap bisa walaupun masih terbata-bata membuat saya pede anak saya bisa. Tetapi, sekolah tersebut memiliki SOP yaitu tes kemampuan akademis dan IQ sebelum masuk sekolah. Sehingga orang tua tidak bisa memilih secara langsung anak masuk reguler atau Special needs (berkebutuhan khusus). Fyi sekolah alam adalah sekolah inklusi di mana anak berkebutuhan khusus (SN) spp nya jauh lebih besar yaitu 3-4jt per bulan.
Berdasarkan penjelasan dari gurunya, kuota SN tahun ini sudah penuh di sekolah tersebut. Yaitu hanya 1, dibatasi 1 anak per kelas. Penjelasan tersebut membuat saya semakin yakin kalau anak saya bisa masuk yang reguler. Kami pun menjalani serangkaian tes tersebut yang harganya lumayan juga yaitu 750rb hanya untuk tes. Hasil tesnya diberikan oleh dokter Sp.A (K) di sebuah klinik. Tetapi Allah berkehendak lain, ternyata hasil tes anak saya tergolong kategori anak berkebutuhan khusus. Dengan tingkat konsentrasi yang rendah, kemampuan bicara yang kurang dan IQ yang rendah.
Dokter bertanya anak ini diagnosanya apa, sudah berapa lama anak anda terapi, terapi di mana, dan lainnya. Saya pun menjawab sesuai dengan keadaan anak saya. Yang saya agak heran, saya belum pernah memberikan suatu statement kepada pengajarnya bahwa anak saya adalah anak special. Tetapi dokter tersebut sudah langsung bisa mengetahuinya tanpa saya sebutkan di awal. Kemudian dokter berkata kalau anak saya ga bisa masuk reguler karena perlu pendampingan khusus. Saya pun mulai berargumen dari kuota SN yang kata pengajarnya sudah full dan juga perkembangan anak saya yang sudah lumayan banyak. Tetapi dokter tetap tidak bisa dan menggelengkan kepalanya. Dokter memberikan alternatif anak saya sekolah di SD biasa dengan tetap terapi.
Akhirnya kami keluar dari ruangan itu dengan harapan yang sudah pupus. Mimpi saya supaya anak saya mendapatkan pendidikan yang terbaik seakan musnah. Saya harus menerima kenyataan bahwa anak saya memang berbeda. Saya tahu anak saya ga akan mungkin mengejar di bidang akademis seperti anak-anak lainnya. Maka dari itu saya sangat bersemangat di sekolah alam yang notabene memberikan fasilitas lain seperti soft skill bercocok tanam, berjualan, dsb. Tetapi saya harus menerima kenyataan bahwa apa yang saya anggap baik belum tentu terbaik buat anak saya, dan tidak ada yang bisa dilakukan setelah ikhtiar selain tawakkal dan berserah diri kepada Allah..
Sekarang saya harus move on dan mulai mencari alternatif sekolah lain. Walaupun tidak sesemangat pertama, tapi anak saya juga harus tetap bersekolah. Semoga Allah memberikan petunjuk sekolah yag terbaik, aamiin..
0 komentar:
Post a Comment