Saturday, June 06, 2020

MY SPECIAL KID (DIAGNOSA 1: ASD)

Kira-kira hampir setahun yang lalu. Juni 2019, anak lelakiku di diagnosa Autism Spectrum Disorder (ASD). Langitku serasa runtuh….aku tak tahu harus berbuat apa….

Tanda-tanda itu aku rasakan semenjak anakku berusia 2 tahun tidak ada penambahan kosakata yang berarti. Bahkan menyebut aku sebagai mamanya (sebelumnya padahal pengen dipanggil  bunda tapi karena sepertinya susah ya udah mama, hehe) pun dia tidak bisa. Bila menginginkan sesuatu dia jangankan berbicara, menunjuk pun tidak. Ia hanya menangis, menangis dan menangis sampai aku sedih dan bingung anakku menginginkan apa. Jadi aku hanya berpatokan pada jam biologisnya. Jam sekian minum susu, jam sekian makan, kalau pup pun membersihkannya ketika tercium aroma kurang sedap. Aku ingat Umar bisa menyebutkan beberapa kata, misalnya kuda (dia suka banget sama kuda), sapi, kambing, ayam. Tapi itupun dia sebutkan hanya dengan keinginannya saja, misalnya kita tanya lagi ini apa? Dia hanya terdiam atau berkata “bibibib, klek klek klek, tuktuktuk …..

Umar memiliki adik saat berumur 22 bulan. Fokusku terpecah menjadi dua, dan waktu rasanya berlalu begitu cepat sehingga tak terasa Umar sudah hampir 3 tahun. Aku ingat perkembangan Maira saat itu sangat cepat bila dibandingkan kakaknya waktu seusianya…Maira 1,5 bulan sudah bisa telungkup sendiri tanpa harus distimulasi, umur 4 bulan sudah bisa merayap, umur 6 bulan sudah bisa diajari duduk, umur 7 bulan sudah bisa merangkak kemana-mana, dan diusianya 11 bulan sudah bisa jalan. Dahulu, kakaknya umur 17 bulan baru bisa berjalan. Bukan bermaksud membandingkan, hanya saja ini penting untuk melihat tumbuh kembang kedua anakku. Alhamdulillah karena Maira cukup mandiri dalam perkembangannya, aku mulai menyadari ada beberapa kejanggalan pada anak pertamaku dan berjanji untuk lebih fokus ke dia….

Awalnya aku berfikir bahwa anakku hanya terlambat bicara saja. Akhirnya karena aku sering gelisah, aku mengajak suamiku untuk memeriksakan anak kami ke dokter anak sekitar bulan oktober 2018 lalu saat itu usianya sekitar 2 tahun 5 bulan. Dengan beberapa test, seperti kontak mata, dipanggil namanya dan menjawab beberapa kartu bergambar. Setelah menjalani test tersebut, anakku didiagnosa Speech Delayed, dokter menyarankan agar anakku sering-sering diajakin ngobrol. Sebenarnya untuk ngobrol atau semacamnya sudah berusaha kami lakukan. Tapi yang kami agak kesusahan adalah kontak mata dan dipanggil namanya. Anakku sering tidak menjawab bila namanya dipanggil, dan ketika mainan seringnya bermain sendiri, dan dia suka menjejerkan mainannya sampai panjaaaaang sekali….

Setelah mendapat diagnosa Speech Delay, awalnya aku tidak terlalu panik dan langsung browsing internet tentang penyebab Speech Delay. Beberapa disebutkan bahwa anak laki-laki memang sedikit lebih lambat dibandingkan anak perempuan. Aku sedikit tenang, mungkin memang benar tapi tanpa aku sadari ini menjadi positif toxic buat aku….

Januari 2019, waktu itu usia Umar sekitar 2 tahun 7 bulan, 5 bulan lagi usianya 3 tahun. Tapi penambahan kosakatanya teramat sedikit, mungkin hanya 10-15 kosakata yang dia bisa. Mengajaknya ngobrol? Sudah sangat sering, bahkan hampir sampai sedikit emosi karena dia tidak menghiraukan atau menggubrisnya karena namanya dipanggil juga susah. Akhirnya, saat itu aku berusaha menyingkirkan anggapan bahwa anak laki-laki terlambat bicara, mungkin memang benar but It’s not a solution, menunggu tanpa berusaha itu sama saja dengan N I H I L. Dengan semua tanda-tanda kejanggalan yang aku rasakan sudah cukup, aku tak mau lagi menunggu anakku berbicara tanpa usaha atau effortku yang kuat.



Akhirnya waktu itu aku memutuskan untuk menyekolahkan Umar, memang aku tahu belum saatnya dia disekolahkan, tapi aku berfikir apa karena anakku hanya di rumah saja jadi dia kurang pergaulan sehingga kosakatanya tidak bertambah..PAUD itu dekat sekali dengan rumahku, tapi kesana tetap naik bentor…Setelah mendaftarkan anakku, dengan NOTABENE “anak saya belum bisa bicara bu, mohon perhatian lebih buat dia”. Setalah membayar biaya masuk yang terbilang cukup murah yaitu hanya 50 ribu, anakku dengan mantap aku sekolahkan disitu…Tanpa seragam, karena aku bilang ke gurunya masih uji coba dulu…”Iya ga papa bunda..”

Hari pertama anakku sekolah, alhamdulillah dia tidak nangis ataupun berteriak teriak. Aku bersyukur, tapi beberapa keganjilan yang memang aku bisa tebak sebelumnya adalah anakku tidak membaur dengan teman-temannya. Saat pelajaran dimulai dan anak-anak duduk rapi di depan gurunya, Umar menjauh dan berlari-lari kecil sambil mencari sesuatu…Akhirnya dia mendapatkan yang diinginkannya yaitu GAJAH. Ya, di dalam ruangan itu ada gajah yang terbuat dari kayu, dia mengambilnya dan tertawa-tawa.

Awalnya aku tenang, toh ini hari pertama dia masuk sekolah. Tapi beberapa jam kemudian, aku merasa sedikit malu karena ketika anakku didekati anak lain dia marah menjerit-jerit tidak mau diganggu, tidak ingin mainannya diambil. Aku pun menenangkannya, dan akhirnya kami pulang…Sudah hampir seminggu anakku sekolah tapi masih saja dengan kondisi yang sama, tidak mau membaur dan asyik dengan mainan-mainan binatang di PAUD itu. Ketika break, alhamdulillah anakku lumayan senang dengan permainan seperti kursi putar mungkin itu hiburannya karena di tempat kami jauh dari playground bermain anak. Aku senang, alhamdulillah dia cukup terhibur walaupun untuk naik perosotan dia sangat takut sampai menjerit-jerit.

Tepat di hari kesepuluh sepertinya gurunya sudah mulai terbiasa dengan keadaan “aneh” anakku, ketika anakku asyik dengan mainannya sang guru itu berkata “Kasih biar saja, dia memang begitu jangan diganggu”. Jleb, seketika hatiku runtuh mendengar ucapan sang guru, ya walaupun memang aku tahu mungkin anakku cuma menjadi anak bawang yang tak dianggap. Ingin rasanya aku berharap lebih supaya sang guru mengajari anakku sedikit sedikit dengan sabar, tapi sepertinya memang tidak bisa diharapkan. Dan aku sadar itu bukan tupoksinya….

Setelah dua minggu bersekolah disana, aku memutuskan untuk menstopkan dulu Umar bersekolah disana. Alasan pertama karena dia jadi sering sakit, ga mau makan dan berat badannya turun. Umar beratnya memang selalu di garis kuning, karenanya selain berusaha supaya dia bisa bicara, akupun harus memperhatikan berat badan yang sering turun, jarang naik. Alasan kedua adalah karena anakku sepertinya kurang cocok sekolah disana mungkin hanya akan mengganggu konsentrasi anak-anak lain yang sedang belajar (karena keanehannya)...Hmm..

Sebulan kemudian, akupun memutuskan untuk berkunjung ke dokter anak lagi. Dokter anak disini cuma satu-satunya se kabupaten. Setelah observasi beberapa saat, akhirnya dokter membuatkan kami surat keterangan dari rumah sakit bahwa anak kami mengalami Speech Delayed dan membutuhkan terapi yang memang disana tidak ada. Klinik tumbuh kembang tidak ada disini…saat itu aku baru sadar bahwa yang dibutuhkan anakku adalah TERAPI yang kami sebagai orang tua sangat awam kenapa, apa, dan bagaimana TERAPI itu sendiri. Kata dokter biasanya klinik atau Rumah sakit yang tersedia bagian tumbuh kembangnya menyediakan fasilitas tersebut. “Anak ibu sebaiknya segera di bawa ke bagian tumbuh kembang, disini tidak tersedia fasilitasnya. Karena kasihan jika hanya dibiarkan seperti itu karena nantinya akan terlambat ke semua aspeknya, kasihan..”. Aku benar-benar kepikiran ucapan dokter, aku sedih dan ga tahu harus bagaimana..”

Saat itulah kami kepikiran untuk pindah…kalau dari sisi kami, terus terang kami nyaman disini, dengan semuanya. Dengan alamnya, dengan sahabat-sahabat kami, dengan ikannya, dengan keramah tamahan penduduknya, dengan budayanya dan masih banyak lagi. Hanya saja, buah hati kami tidak bisa menunggu sampai dia besar disini, ini sama saja dengan mengucilkannya sebab ia tidak bisa berkomunikasi. Aku takut memikirkan masa depannya, Ya Allah berikanlah kami jalan….

Di sela-sela kesibukan kami, kami menyempatkan untuk mengajak Umar jalan-jalan ke alun-alun. Di sana ada taman yang luas dengan rerumputan dan lapangan basket di tengah-tengahnya. Disini kami merasakan keganjilan kedua, anak kami hanya berjalan lurus ke depan tanpa menyadari sekitarnya bahkan tanpa menyadari kehadiran kami disana. Dia terus berjalan sambil berlari, ketika kami panggil dia benar-benar tidak menoleh. Ya Allah, kenapa anak kami? Nanti kalau misal ada kendaraan atau binatang gimana? Orang-orang dia alun-alun itu beberapa ada yang menengok kami, mungkin karena kami tengah sibuk mengejar-ngejar anak kami sambil memanggil-manggil namanya…

Pun, ketika aku mengajak Umar berkeliling kompleks Perum Piloliyanga, Umar hanya berjalan lurus saja, aku mulai terbiasa untuk berlari-lari mengejarnya sambil memanggil namanya. Berusaha untuk tidak peduli dengan anggapan orang-orang kepada kami. Tapi menurutku dengan mengajaknya sering berjalan-jalan berarti membiasakannya untuk mengenal dunia sekitar. Keganjilan ketiga yang kami rasakan adalah anakku sering mengalami ketakutan yang berlebihan. Di samping Perum kami ada sekolah TK nah disitu selain ada permainan kursi putar, perosotan, ada juga gelantungan. Setiap sore aku mengajaknya kesana, karena aku belum pernah menggelantungkannya di gelantungan besi. Aku mengajarinya bergelantungan, dan setelah itu dia menangis histeris. Dia amat ketakutan. Ini akhirnya berefek pada dia yang tidak mau lagi ke arah TK. Umar akan menjerit dan menangis histeris, Ya Allah….

Juni 2019, Umar sudah berumur 3 tahun. Dan…dia masih seperti itu, belum menunjukkan  saat kami cuti tahunan untuk lebaran di tempat suami (Bekasi, Jawa Barat). Kami pun memutuskan untuk membawa anak kami ke rumah sakit yang ada klinik tumbuh kembangnya. Saat mendaftar, kami diarahkan untuk ke dokter anak dan ke dokter psikolog. Alhamdulillah dua-duanya ada saat itu, tapi kami menunggu lumayan lama. Setelah giliran kami, kami pun menjelaskan tentang keluhan dan yang terjadi pada anak kami. Anak kami pun di observasi dengan melakukan beberapa test. Aku melihat beberapa kali dokter mencentang tidak. Setelah banyak pertanyaan dan test yang dilakukan akhirnya kedua dokter menyarankan kami agar anak kami diterapi di klinik tumbuh kembang. Dan terapinya adalah terapi sensori integrasi (SI) sambil menulis di surat keterangan dokter. Kami pun bertanya anak kami kenapa, dokter berkata bahwa anak kami mengalami gangguan Autism Spectrum Disorder (ASD) dengan PDD NOS. Deg, Jederr rasanya seperti hatiku hancur berkeping-keping. Aku tak menyangka bahwa anakku ASD…….

Aku seperti ga terima rasanya kalau anakku autis seperti ada rasa denial saat itu. Aku ingin rasanya menepis bahwa anakku tidak autis. Langsung saja aku searching tanda-tanda autis dan memang hampir 90 persen mirip dengan yang di internet. Tanda-tandanya adalah:

1.       Susah melakukan kontak mata, selalu menghindari bertatapan dengan orang lain. Padahal itu bentuk interaksi sosial pertamanya.

  1. Tidak menoleh saat dipanggil namanya
  2. Melakukan aktivitas berulang
  3. Tantrum ketika diganggu
  4. Suka menjejerkan mainan tanpa tahu makanya
  5. Kalaupun bisa berbicara apa yang diucapkannya tidak bermakna
  6. Suka bermain sendiri
  7. Susah melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya
  8. Tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya
  9. Salah satunya ditandai dengan keterlambatan bicara anak (speech delayed)
  10. Jika ditanya akan kesulitan untuk menjawabnya

Aku beryukur di saat fase-fase denialku aku dipertemukan dengan sebuah vlog salah satu artis yang anaknya juga menderita ASD. Banyak pengetahuan dan informasi yang aku peroleh. Ternyata memang ada fase dimana orang tua tidak akan bisa menerima kalau anaknya disebut autis. Dan mencari pembenaran ke dokter lain bahwa anaknya hanya speech delayed atau terlambat bicara. Setelah mereka konsultasi akhirnya ada di suatu titik bahwa APAPUN KONDISI/DIAGNOSA DOKTER  tidak akan merubah kondisi anak tersebut tanpa ikhtiar. Dan ikhtiar untuk anak yang mengalami gangguan tersebut adalah dengan TERAPI.

Ya Allah, seperti diberikan petunjuk oleh Allah, akupun menyingkirkan kesedihanku. Anakku ISTIMEWA, ANAKKU SPESIAL, Allah pasti menitipkan anak ini karena kami sanggup….Aku mulai mencari tempat terapi untuk anakku yang tentunya sesuai dengan budget dan waktu kami selama kami cuti disini….

Lanjut Pendaftaran ke Satria Kids:  

https://moniceoktavina.blogspot.com/2019/06/pendaftaran-ke-satria-kids-speech-delay.html)


Artikel Terkait

0 komentar:

Post a Comment

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Pengunjung Blog

Labels

A EKMET (1) A MACRO (1) A MATEK (1) A MENULIS (1) A MICRO (1) ENGLISH (13) ISLAMI (9) KISAH (24) KUE (2) KULINER (3) LEARNING (23) Menjahit (6) MONICLENS (8) MY CREATION (12) MY LOVELY FAMILY (17) NGAJI (1) NOSTALGIA (14) PUISI (7) RESENSI FILM (6) STORY (38) TAJWID (1) TESTIMONI (2) TIPS dan TRICK (16) TRAVELLING (40) TSAQOFAH (1) Umar (9)

Alih Bahasa

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Monica Oktavina. Powered by Blogger.

Blog Archive

Flag Counter

Flag Counter

About Blogger

Hello guys, I am a mother of two kids, hopefully this blog useful for you, do not forget to follow this blog to get more information ^_^ (Instagram: moniceoktavina12. Youtube: Monica Oktavina) Contact Us: moniceoktavina@gmail.com

PRIVACY POLICY

Copyright © Monice and Family | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com